“Aku sudah jauh pergi
dari kota yang mempertemukan kita. Jauh,
jauh sekali, bahkan jika kau cari aku
kembali, aku jamin kau tidak akan menemukan ku. karena aku sudah berjanji pada
sejarah untuk melupakanmu” Itulah isi email yang kau kirim pada ku zen, kurang
lebih tujuh tahun yang lalu. Sering sepertiga malam setalah aku shalat malam,
ku buka komputer lipat ku, sign in email dan mencari-cari pesan terakhirmu yang
kau kirim padaku lewat email. Aku tau zen, ini bukanlah tahun-tahun pertama kau
meninggal kan ku, tapi ada sesutu yang sulit ku jelaskan tentang posisimu di
hatiku. Bahkan tanpa kabarmu dalam kurun waktu yang begitu lamapun hatiku tetap
saja berada disana, bersamamu. Cinta ini memang sudah tak tampak, namun ia tak
hilang. Ia hanya mengubah bentuk pencitraannya saja. Lebih nya cinta ini
berkamuflase menjadi boomerang rindu yang ahh, tidak dapat ku sampainya zen.
Jujur saja rasa rindu itu sedikit benyak membunuh jiwaku
Zen, dulu saat-saat
kita masih berseragam putih abu-abu begitu banyak kenangan yang kita ukir bukan
? Ingatkah kau dengan tulisan yang kau tulis di bebatuan depan kelas tepatnya
dibawah pohon palm yang rindang itu ? Ya, mungkin kini bebatuan itu sudah rapuh
karena menangggung kegetiran menahun disinari panasnya matahari dan dinginnya
hujan, juga mungkin sadisnya angin malam. Zen, aku rindu pada tingkah egoismu.
Tingkahmu yang menumbuhkan rasa dilematis dalam hidupku saat itu. Aku rindu
raut wajahmu saat kau cemburu, saat kau tidak mengizinkan aku untuk bergabung
bermain dengan teman laki-laki lainnya. Saat kau berusaha keras mencarikan sebuah
pena didetik-dekit menjelang ujian, saat kau rela berhujan-hujanan hanya untuk
mendengar keluh kesahku. Aku rindu zen, apakah kau juga sama ? Ah, aku sudah
terlalu sering berhipotesa dengan khayalan yang aku rangkai sendiri. Sejatinya
hipotesa itu selalu gagal, hingga aku kembali terjatuh
Zen, satu hal yang
sedari dulu ingin ku tanyakan padamu. Seberapa besar kau mencintaiku dan
seberapa layak aku untuk dapat bersama ? Jika kau jawab dulu, mungkin dengan
hati tang dingin dan perasaan menggebu-gebu kau jawab kau sangat mencintaiku,
dan aku sebenarnya tak layak bersamamu namun aku harus membenah diri agar layak
bersamamu, ya mungkin itulah jawaban yang keluar dari mulutmu.
Zen, malam ini begitu
dingin. Sedingin hatiku menceritakan kembali kisah kita dalam komputer lipat dengan
layout kertas putih 21x29,7 cm ini. Sesekali angin meniup rambutku yang
tergerai dan sesekali ku dengar juga angin sadis membisik kan namamu. Zen, aku
sepi. Malam ini hanya berteman secangkir teh hangat diatas gelas bundar dan
roti kering sisa tadi siang. Tak mau kah kau menemani ku sebentar Zen ? Tak
perlu lama, hanya ingin ku lihat dan ku pastikan bahwa kau baik-baik saja. Zen,
sudah banyak sekali aku mention kau
via twitter, tapi tak satupun yang kau re-twet.
Sudah banyak sekali aku berkirim pesan via email padamu, tak satu pun juga yang
sudi kau baca. Sebegitu besarkah salah ku dimata ? Ohya Zen, ingat kah kau saat
kita bersenda gurau saling berkirim twit-pic.
Begitu banyak foto-foto lucu ku yang kau kirim ke twiter, dan aku pun marah. Malam itu terjadi
perang kecil-kecilan antara kau dan aku. Twitt-war,
tak peduli seberapa banyak orang yang membacanya, tak peduli seluruh dunia
mengetahui perkelahian kita saat itu. Sangat menyenangkan bukan ?
Zen, bercerita masa
lalu ini memang mungkin salahku. Salah ku yang mengkhianatimu dan mencurangi
kisah cinta yang dulunya terjalin begitu indahnya. Aku sadar ini bukan cerita
Roman seperti di FTV, apabila sang wanita menkhianati cintanya dengan rasa
sabar yang tiada terbatas sang pria pun tetap memaafkan dan bila wanita itu
kembali pada pria, dengan bodohnya pria itu mau menerimanya kembali. Tapi itu
hanya permainan skenario saja. Kau bukan tipe lelaki seperti itu Zen, aku
terlalu pintar untuk hal-hal yang seharusnya tidak aku lakukan.
Malam itu, semua diluar
kuasaku. Aku tidak tau menahu tentang perjodohan itu pada awalnya. Semua ku
sangka berjalan baik-baik saja. Idris datang hanya untuk bersilaturahmi, bukan
untuk kepentingan lain fikirku. Fikiran ku sama sekali tak pernah berarah pada
sebuah perjodohan. Apalah arti perjodohan bagiku yang masih duduk dibangku SMA
kala itu. Namun, malam itu aku keliru. Antara kau dan idris. Jika aku memilih
Idris, musnahlah sudah cinta kita yang sudah terjalin lebih dari seribu malam
itu. Dan jika aku memilih mu, musnah sudah kebaktian kepada kedua insan yang
dengan penih keringat membesarkan ku. Belum lagi budaya kita mengajarakan untuk
selalu menuruti perkataan orang tua, kalau tidak bisa kualat katanya. Kala itu
aku benar-benar labil, ku tatap wajah kedua orangtua ku yang oenuh oengharapan
agar aku menyetujui perjodohan ini. Ini terjadi tak lain dan tak bukan karena
nenek buyut ku yang telah berjanji untuk menjodohkan anak gadis dari keturunan
dengan keluarga Idris. Bedebah, sangat-sangat bedebah ! Harus kan aku yang
menangung ini Zen ? Dengan berat hati, aku mengiyakan perjodohan ini. Ntahlah
Zen, jika harus memilih lebih baik aku terlahir sebegai laki-laki agar tidak
dijodoh kan dengan Idris !
Nah, dan kau Zen tanpa
syarat apapun kau jauhi aku. Kau anggap aku musuhmu. Dan puncak nya saat ferewell party SMA, kau sama sekali
tidak mengucapkan sepatah kaat kua apapun untukku. Kau berlalu begitu saja. Dan
kabar terakhir yang ku dnegar, aku kembali ke kempung halamanmu tanah minang,
sumatra barat untuk melanjut studymu. Dan aku tetap bertahan di tanah rencong
ini, dan melanjutkan study sebagai mahasiswi keperawatan.
Tentang Idris, ia
kuliah diluar pulau sana. Dan kabar yang terakhir ku dengar tentang jodohku itu,
ia banyak berhura-hura. Aku pun memutuskan, berbicara dengan kedua orangtua ku
untuk membatalkan perjodohan keparat ini. Maka dari itu Zen, datanglah kembali.
Waktu memberimu kesempatan untuk kembali menyambung cinta kita. Dan karena
hatiku pun masih untukmu, tapi sayangnya, kau hilang ditelan euforia dunia. Tak
berkabar dan tak berkisah.
Bahkan kini, aku sudah
wisuda. Sudah menjadi seorang perawat dirumah sakit di kota yang mempertemukan
kita beberapa tahun yang lalu. Dan apa kabar mu disana Zen ? Disini aku
merindukanmu......
Tapaktuan, 07
Juni 2015 03.52 Pm
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusCing sabar
BalasHapusCing sabar
BalasHapus