Intel berjaket kulit hitam pekat itu
menoleh, dengan wajah penasaran ia mendorong pintu kayu yang lapuk dan
bolong-bolong karena di gigit rayap. Terdengar sayup tangis dari dalam, mungkin
dari salah satu sekat ruangan di dalam. “Deri…” Jerit seseorang disana. Dengan
penuh rasa was-was intel ulung itu menoleh, ada wanita cantik disana. Perlahan
sang intel berjalan mendekati wanita berparas elok itu. “Ah, kau Fris !
Mengganggu ku saja ? Sedang apa kau ?” sesekali Deri menengok kiri-kanan, takut
kalau-kalau ada seseorang yang lain mengintainya.
“Aku hanya ingin membantu menyelesaikan
kasus ini” tukas Friska. Ia siap tempur dengan penampilan nya, sepatu bots
setinggi lutut, T-shirt hitam, dan celana sepaha. Derianto bergeming
meninggalkan Friska yang sedari tadi memajukan muncungnya karena kurang suka
dengan respon sang intel. Friska mengikuti sang intel dari belakang, perasaan
mereka harap-harap cemas. Untuk pertama kalinya ia rela mengorbankan
ketakutannya untuk keberanian yang luar biasa dan hal ini tentu saja dilakukan
Friska untuk memikat hati sang intel, Derianto.
Sementara didalam markas busuk, tujuh orang
tawanan tersandar di dinding-dinding kumuh penuh coretan. Para mafia ular itu
telah menyekap tawanan itu lebih dari 56 jam. Polisi masih belum mengetahui
pasti kasus penculikan ini. Tawanan berasal dari kalangan seniman, pegawai
sipil, juga dokter. Reza yang berprofesi sebagai pelukis, ia di culik setelah
melakukan transaksi jual beli karya lukis dengan seorang turis yang berkunjung
ke galeri mewahnya. Aja seorang dokter muda cantik, di culik setelah melakukan
kegiatan social bidang kesehatan di perkampungan kumuh. Apri, seorang psikolog
di culik setelah seorang perempuan berpenampilan aneh datang padanya untuk
kosultasi, Mareta seorang perawat dan penulis di culik saat ia sedang bertugas
piket malam di RSU pusat kota. Irwansyah seorang pujangga gagah belum jelas
kapan ia di culik.Irmalina pengusaha kosmetik di culik setelah beberapa hari
melingkarkan cincin pertunangan di jari manisnya, dan Rofik, seorang pegawai
negeri di tabrak sengaja, kemudian di angkut dan di bawa oleh truk luar kota
yang berisi ribuan kambing. Siapa di balik penculikan masal ini ?
“pulangkan saja ia ke tanah, haha” tawa itu
menderu-deru memekak kan telinga. Disambut lagi dengan tawa-tawa setan dari
yang lainnya. Dapat di taksir dari berbagai jenis tawa, ada 8 mafia di luar
markas yang merencanakan sesuatu. Derianto mencoba untuk mencari sketsa
wajah-wajah mafia itu. Friska yang masih saja mengikuti membuat resah sang
intel. Derianto tak memperdulikan nya, dengan segera ia mengeluarkan telepon
genggamnya dan memanggil sebuah kontak, tertulis “My assist Tika” . terjadi
percakapan panjang antara mereka. Friska mangut-mangut seperti cemburu. Tak
lama kemudian datang seorang gadis cantik berambut panjang dengan jaket abu-abu
dan celena selutut. Ia mendatangi sang intel. Melihat hal ini, jelas saja Friska
merasa tersisihkan. Perlahan-lahan melangkah, Friska berlalu pergi bersama
kecemburuan meninggalkan sang intel, dan assistennya. Sebenarnya Friska sudah
bertunangan dengan Syafwin, ketua mafia penculikan 7 tawanan itu, namun Friska
menaruh hati pada Derianto, sudah sejak SMA bahkan. Namun kerena keinginan
kedua orangtuanya friska terpaksa bertunangan dengan orang yang tak sama sekali
ia cintai.
“Untuk makan siang ku rasa kalian lebih pantas ku beri cacing” Syafwin ketua mafia memberi satu persatu bungkusan nasi kepada tawanan. Lima menit senyap, keadaan hening. Syafwin hanya memperhatikan satu persatu, dengan gaya setan usil ia menyepak makanan Aja, lalu berkata “ Rakus sekali kau, seperti bukan seorang wanita saja. Kau liat lah teman wanita mu yang lain, mereka bahkan tak sanggup makan karena ada aroma bebauan di ruangan ini, dan kau ??? Aisssh, ku rasa sebelum di sergap kau belum makan selama 3 hari, iya?”. Aja tak peduli, kata-kata penghinaan itu angin lalu saja baginya. Dengan lebih semangat dari sebelumnya, ia menyantap lebih lahap lagi. Berbeda dengan Reza, yang sedari tadi hanya mual-mual tak jelas, lalu ia lototi makanan di hadapannya, lalu mual-mual lagi. Lebih pada seorang yang terjangkit penyakit was-was, tidur tak boleh sembarangan, makan pun begitu, katanya takut kena penyakit. Apalagi makan makanan yang tak jelas asal muasalnya, bisa-bisa ia terjangkit diare. Tak ada satu pun yang bisa membayangkan, dalam status sebagai tawanan, penyakit bolak-balik kamar mandi itu datang mengahampiri. Aisshh tak bisa terbayangkan dengan pakaian dalam seadanya, ia harus menyamar seperti strika yang harus mondar-mandir ke tempat buang hajat. Inilah penyakit manusia, ada-ada saja. Belum lagi dengan penulis ulung, Mareta. Ia tak urung mengeluarkan air mata. Tak pagi-siang-malam-sore-magrib-malam lagi-menjelang tengah malam- tengah malam-menjelang subuh-subuh-hingga pagi lagi ia masih saja mengeluarkan mutiara bening di sudut matanya itu. Pernah ia mengumbar alasannya menangis sepanjang waktu “Biar saja aku menangis, ini senjata kebebasan kita. Dengan air mata ini, mengkin saja si Setan syafwin dan mafia berwatak bejat lainnya itu mendapat rasa iba, lalu membebaskan kita” Sebenarnya alasannya sungguh tak efesein, yang namanya penjahat, tak kenal rasa iba. Lain lagi dengan rofik, yang selama menjadi tawanan, ia malah suka senyum-senyum sendiri. Tidur dengan senyum, makan dengan senyum, bahkan ke kamar mandi pun senyum-senyum. Seakan-akan bukan hanya dirinya yang di tawan, tapi juga hatinya. Tawanan kali ini tentu beda, hatinya mungkin telah di tumbuhi bunga-bunga cinta yang tumbuh bersemi bersama asmara yang ingin segera di belai mesra, lalu lallalalal kuning jingga ahh bukan maksudnya merah muda menjadi warna favoritnya. Mencium pagi lebih dari semangat tempur. Ketika hendak tidur ber lullaby lah bersama rasa diatas langit malam menggeser posisi bintang, merusak bentuk rasi yang menjadi petunjuk malam kurang lebih itulah yang biasa nya diungkapkan pujangga cinta. Aaaiyaa, bahkan Rofik tak jarang bersenandung dalam malam, lagu raja dangdut Bang Rhoma Irama menjadi andalannya “Hidup tanpa cinta, bagai taman tak berbunga”. Tuhan memang adil, di tengah kegelisahan jiwa tentang penyergapan massal ini, Rofik merasakan jatuh cinta. Si Apri, tawanan yang tak pernah tersenyum. Mungkin sang Psikolog ini bingung, tentang apa kesalahannya hingga ia di tawan oleh mafia-mafia itu.
“ Bang Der, sepertinya kasus penculikan itu
semakin menuju titik terang” Ungkap tika sembari memperhatikan satu-persatu
foto-foto para mafia.
“Kau, jangan bersenang hati. Justru ini
rumit. Mafianya adalah teman kita !” Perkataan sang intel meninggalkan kerutan
di keningnya.
“Teman ?? Intel apa kau ini bang ? Kasus ya
tetap di usut ! tidak peduli siapa yang berperan didalamnya!” Wajah tika
memerah. Seakan ia tak percaya, sang intel sebegitu goyahnya.
“Iya, kau benar ! Motifnya adalah dendam,
liat saja.. Semua tawanan berasal dari alumni SMA kita, dan mafianya pun juga
begitu”
“Syafwin, Nurhasanah, Nando, Joko, Doni,
Nurul, Evi, Dinda.. Benar-benar aneh.. “
“Belum lagi si centil Friska selalu saja
mau tau urusan ku, aku muakk, muakk, muakkk !!!!”
“Alah bang, Friska cinta padamu. Bukan pada
tunangannya si Syafwin itu !”
Derianto membalas perkataan Tika dengan
tatapan sadis. Tika tertunduk, tak dapat melanjutkan kata.
Belum lama selesai makan, para tawanan di
kejutkan dengan gumpalan asap putih yang mengepul di langit-langit ruangan.
Panik tak karuan sudah menjadi tradisi di saat gencar seperti ini. Di tengah
para tawanan sibuk menyelamat kan diri, Rofik malah sibuk mencari sosok wanita
yang seakan-akan ingin ia lindungi. Aja, ia menarik tangan aja dengan secepat
mungkin, mencoba berlari bersama dengan tangan kanannya setengah merangkul. 14
detik gencar, tiba-tiba ada sebuah layar disana. Tertera tulisan “ Selamat
Datang”. Ntah apa maksudnya, yang jelas ruangan yang tadinya busuk merekah dan
berasap pahit kini tiba-tiba telah tersimsalabim kan menjadi ruangan yang
menakjubkan. Walaupun dekorasinya sedikit norak dengan warna-warna primer yang
memuakkan. Di pintu utama ada gadis bertopi biru tua berdiri. Menyambut para
tawanan dengan senyum yang selebar mungkin, terlihat giginya yang putih
rapat-rapat, nur’aini. Disampingnya ada lima wanita yang sedari tadi
tertawa-tawa puas. Ada Rosusi, Maya, fitriani, rahmi, dan Maysarah. Lalu di mana mafia itu ? ah ini sudah
direncanakan sebelumnya. Pertemuan haru yang awal skenarionya harus seperti
penculikan massal, agar ada kesan yang tak biasa. Sungguh keren konsep ketua
mafia, Syafwin. Sang intel nomor satu dan assistennya pun ikut tertipu. Semua
berperan, kecuali hakima yang kini harus tinggal tokoh karena hakima baru saja
menyandang status sebagai ibu selama seminggu yang lalu. Hakima terlalu sibuk
dengan malaikat kecilnya. Acaranya tentu saja sudah bisa di tebak, temu alumni
Kelas. Ada yang marah-marah, menangis, memeluk setiap orang sana sini, bahkan
ada yang meratap-ratap. Mungkin perbedaan cara mereka menyambut pertemuan ini
tergantung massa rindunya. Yang meratap-ratap tentu memiliki rindu yang
beratnya berton-ton. Tak lama di antaranya ada seorang pria berambut ikal
mendatangi Aja, lalu berdiri di sampingnya menggeser posisi Rofik.
“Kau baik-baik kan saja kan bu dokter?”
Tanya lelaki itu
“Ya, tentu” Wajah Aja memerah. Ntah malu,
ntah marah. Beberapa detik hening Rofik angkat bicara.
“Kau siapa ?” Pertanyaan di lambungkan pada
lelaki yang baru datang itu. Keratamahan rofik memang tak terbatas, ia bertanya
tak lupa memasang senyum termanis. Siapa saja yang melihatnya akan terhipnotis.
Belum sempat lelaki itu menjawab, suara
lainnya menyambar
“Dia Pa’I, suami ku” Jelas Aja singkat.
Lalu menggandeng tangan sang suami dan beranjak pergi meninggalkan Rofik yang
semakin tipis senyumnya karena kecemburuan mendalam.
Biodata Penulis
Nama : Mareta Asryanti Az
Tempat Tanggal Lahir : Subulussalam, 19 Maret 1997
Komentar
Posting Komentar