Aku berjalan dengan langkah cepat. Hatiku kacau,
fikiranku risau,.Ah harus sekocar-kacir inikah aku ? Rasa khawatirku begitu
besar, seakan maut benar-benar akan menjemput. Dari kejauhan aku melihat lelaki
tinggi, berperawakan india, dengan wajah yang pucat pasi. Langkahku terhenti,
fikiranku mulai terpusat pada lelaki itu. Sungguh kurang ajarnya dia, berani
mengalihkan rasa khawatirku yang sedari tadi menggorogoti akal sehatku. Aku tertegun,
ribuan sel syarafku mulai bekerja. Dan Ahaa, lelaki itu Udin, lelaki sekawanku
ketika menjadi TKI di negara Paman Sam. Aku begitu menyukainya, Udin dan aku
sama saat itu, kami sama-sama menyedihkan namun, yang teristimewa kami adalah
pahlawan devisa untuk negara yang kaya raya ini.
Aku lupa akan tujuan awalku, rasa penasaran dan rasa
rindu menguasaiku. Aku mulai mendekatinya, menepuk pundaknya dan spontan saja
ia tersontak dan melihat ke arahku. Udin gelagapan, bibirnya gemetaran ia
sekaan ingin menyapa tapi dari bahasa tubuh nya tersirat bahwa ia lupa sesuatu,
ia lupa namaku. Aku merendahkan hati untuk membuka pembicaraan. “Hai kawan,
sudah lama kita tidak bersua. Apa kian gerangan yang membawamu berdiri disini
dengan wajah,, ah wajah apa itu? Seperti.. ah tolong jelaskan kawan” Aku menatapnya
dengan penuh rasa kasihan. “Aku ingat padamu, kau melekat erat dan kuat dalam
ingatanku. Tak bisa aku lupa sekalipun aku ingin melupakannya. Tapi kawan ku
yang bersahaja, siapakah namamu?’ Udin bertanya dan tertunduk malu. Mungkin ia
dirasuki rasa bersalah karena lupa akan namaku yang susah payah Ayah-Ibuku
sematkan bahkan setelah tiga hari tiga malam melaksanakan hajatan memberi makan
anak yatim, agar nama indah ini membawa keberkahan dalam hidupku.” Tak apalah
kawan, apalah arti sebuah nama. Terpenting seperti yang kau katakan tadi,
wajahku yang tak seberapa tampan ia melekat erat dalam ingatanmu. Baiklah
perkenalkan kawan, namaku Stapahera, kau bisa memanggilku Boy. Ingat kawan,
Boy!” aku menyodorkan tangan untuk bersalaman dengannya, “Banar kawan, aku
ingat. Nama dan panggilanmu yang tidak selaras” Udin tertawa dan akupun
tertawa. Aku mulai penasaran apa yang membawanya ketempat seperti ini, sedari
tadi ia belum menjawab pertanyaanku.
“Bukan ayah, ibu, nenek, ataupun buyutku yang tidak
sehat. Ini lebih menyedihkan dari semua itu, kau tau Boy, saku ku sedang sakit
kini. Betapa sakit dan sedihnya aku. Saku ku kini sedang di UGD melakukan
pemeriksaan. Nah kau kawan, apa yang membawamu kemari ? Istrimu kah yang sedang
berjuang untuk kelahiran buah cinta kalian ? Atau apakah ?”
:”Ah derita yang kau alami sama dengan deritaku, tapi
kawan, kau kalah selangkah. Saku ku yang tercinta kini terbaring lemah tanpa
organ dolar dan rupiah di ICU” Aku mengusap air mata yang tanpa perintah turun
menari-nari dipipi.
“Benarkah ? Kebetulan macam apa ini kawan. Aku sedikit tidaknya
tau mengenai penderma-penderma di pasar ikan. Mereka disana banyak
menjajakannya. Hanya duduk lalu memelas kasih. Kita mendapatkannya tanpa
membayar 250 perak per organ” Udin dengan sumringah menyampaikan idenya. Aku
tak tahan ingin menampar ide nya yang murahan itu.
“ Bukan itu saja masalahnya kawan, setanisme uang mulai
menjajah pola fikir kita. Fikirin itu seperti virus basil tahan asam yang susah
di hapus hamakan. Kau lihat saja perawat diluar sana, ia seakan kerasukan
mengisi sakunya. Padahal sakunya baik-baik saja. Dan bahkan perawat itu hidup
sejahtera. Dan lihat dokter dengan jas putihnya, ia lontang lantung menukar
waktunya dengan uang agar sakunya sehat, kuat, dan terpandang. Nah sekarang kau
miringkan kepalamu, kau lihat wanita paruh baya dipojok kiri sana. Ia mulai
berfikir nakal mencuri-curi kesempatan merebut uang dari saku perawat dan saku
dokter tadi agar saku sehat kembali. Wanita itu sudah terlalu pahit menahan
kegetiran dalam hidupnya. Sialnya, empat anaknya mati kelaparan dan suaminya
menikah lagi dengan janda kaya hanya kerena sakunya sedang kritis dan tergolek
lemah tanpa rupiah. Itulah yang disebut setanisme uang kawan” Aku berpanjang
lebar, namun wajah udin kembali sumringah, sepertinya ia kembali mendapat ide.
“Ah, begini saja kawan? Aku punya ide yang lebih besar
kini” Dengan ambisi yang menggebu Udin melanjutkan pembicaraannya “. Kau mahu
tahu satu rahasia boy”.
“ Rahasia apa itu? Pelikkah? Perlukah dunia mendengarnya?”Aku
yang mulai penasaran melepar kembali pertanyaan kepadanya.
“ Ah, kau jangan seperti kresek rusak saja boy ! Kau tahu
kan makna rahasia ? Rahasia itu hanya membutuhkan tiga tokoh. Kau, aku, dan
Tuhan yang sedang menyimak sekaligus bangga dengan hamba seperti aku yang
cerdas luar biasa. Tapi ini rahasia ini sedikit mengerikan boy, lebih seram
dari setan jenglot sekalipun. Rahasia ini cara agar kita yang nelangsa bisa
mendapatkan kembali organ vital saku yang hilang” Udin tersenyum-senyum, aku takjub
padanya. Setelah bertahun-tahun tidak berjumpa aku rasa ia semakin pintar saja
terlebih ia kini menjelma sebagai pria yang berpikir kritis. “Haaah, kawan
cepatlah katakan saja rahasia itu, aku tidak peduli ia seram atau apa
sekalipun” Aku yang mulai tidak sabar berdiri tegap dihadapan udin. Inilah
saat-saat pencerahan dan jimat luar biasa yang akan dilontarkan udin untuk
menyelamatkan saku ku yang sedang kritis di ICU dan suka nya yang sedang dalam
pemeriksaan diUGD.
“ Kau simak baik-baik boy. Jika kau ingin sakumu kembali
pulih kau mesti seperti mereka terlebih dahulu. Duduk dikursi empuk dengan jas
armani, sepatu pentofel, dan dasi bercorak polkadot dengan warna abu-abu.
Masalah bagaimana caranya solusi yang gampang boy, kau jual saja janji-janji busuk
dengan rakyat. Jangan lupa sesekali keluarkan bakat aktingmu itu, beriba-iba
lah. Katanya kau tidak akan berani macam-macam sebab kau pun dari kalangan yang
tidak kaya. Dari isu-isu yang sekelian lama terekem,rakyat biasanya lebih
percaya dengan orang yang bernasib sedih sama dengan mereka. Tidak perlu kau fikirkan
masalah biaya kempanyemu boy. Perlahan dan pasti, misimu mengorek beberapa
rupiah disana, tidak perlu cemas. Rakyat itu tidak akan curiga. Lihat saja
negara kita ini, berapa banyak koruptor yang mencuri laci negara hingga
triliunan rupiah demi saku mereka ? mereka banyak yang selamat dibalik topeng
tanpa harus makan nasi jagung di balik jeruji besi. Mereka dengan cerdiknya
bersembunyi dibelakang kuasa-kuasa hukum mereka. Mereka hebat, mampu mengendalikan
politik yang mematikan ini. Setelah kau
berhasil jangan lupakan aku, tolong selamatkan juga sakuku. Bukan kah kau
bahagia melihat aku sejahtera ? aku teman mu yang cerdas tiada terhingga ini
aku dengan mudah memberaskan semua itu. Bagaimana boy ide yang cemerlang bukan
?” Udin menepuk pundakku, aku seperti patung yang benar-benar tidak bersedia
untuk bersuara. Ide bodoh nan menyesatkan itu menampar kalbu dan sukmaku. Ide
itu mengalir di dalam darah, otak, lalu ia berguling-guling dan tumpah karena
konflik batin yang serius, seumur-umur inilah ide paling nista yang pernah aku
dengar, bukan sebuah selosi melainkan musibah. Dengan berat hati aku berbicara
dan menantang ide Udin yang tetap saja tersenyum-senyum.
“ Hai Udin, temanku yang aku kagumi karena kesetianmu.
Sejak kita ternobatkan dan memaksakan diri mencari pundi-pundi rupiah di negeri
orang, kau lah orang yang begitu baik padaku, Jika aku makan nasih bertemankan
garam, kau pun bersedia dengan rendah hati makan nasi yang bergaram. Ketika aku
kehilangan arah, kau penyemangat hidup.Ketika aku goyah pada wanita-wanita yang
menjajakan jasa sebagai penghibur kau tampar aku dengan siraman rohanimu,
menyelamatkan iman dan islamku. Tega betul kau racuni otakku dengan ide sampah
seperti itu. Tega betul kau berniat mengkhianati rakyat yang menderita seperti
kita, Politik tak semudah semburan mu itu, ia tidak mudah diterima,
inkonvensial. Politik bukan frasa-frasa yang dengan mudah penyair ciptakan.
Politik itu gebrakan protes-protes, punya corak, kejam dan humoris. Dan yang
terpenting orang-orang politik sakunya tidak sakit seperti saku kita. Saku
mereka sehat, mampu menyelamatkan orang-orang berpolitik dan kroni-kroninya.
Dan inilah yang aku katakan setanisme uang. Tidak semua yang berpolitik
memiliki niat mencuri seperti mu” suaraku bergetar, tetap saja aku masih tidak
terima dengan Udin. Udin dengan ambisi yang mulai layu dan matanya yang nanar
berujar “ Baiklah boy, mulai sekarang kau bukan temanku lagi. Jika kau terluka
tentang ideku,cukup maafkan. Aku terlalu malu dengan penolakan mu boy” udin
sesugukkan, ternyata ide yang dibanggakannya menampar keras harga dirinya. Dan
akupun yang tidak lagi nyaman berdiri disamping.
“Udin, Aku bedoa agar saku mu akan kembali baik-baiknya.
Semoga kau mendoakan hal yang sama. Satu nasihat ku padamu, jangan coba-coba
selamatkan saku mu dengan cara yang tidak halal. Kau dan aku, hanya hamba
Allah. Berdoa dan berusaha lah agar kau sejahtera. Sebab ini baru epilog dari
opera kehidupan kita kawan” ujarku sembari melangkah menuju ruang ICU.
Tapaktuan, 20 Oct 2016
15.43 WIB
Komentar
Posting Komentar