Hujan telah
usai. Sayup terdengar suara katak bernyanyi sahut menyahut dengan alam
malam. Aroma petrikor menjadi terapi kesedihan bagi setiap pecinta hujan.
Listrik padam dikota itu, suara mesin genset menderu diudara. Malam itu, para
jompo telah lelap dalam tidur malamnya, ada yang mendengkur, tertawa, mengigau
menyebut nama mantan istrinya yang sudah berpuluh-puluh tahun bercerai ,
mengigau menyebut nama tetangga yang belum membayar utang sebesar 200 ribu
rupiah, mengigau ingin menikahi gadis perawan, dan
yang paling menyayat hati, menangis dalam tidur sembari memanggil nama anaknya.
Namun mnasih saja ada dua orang lelaki tua bercengkrama dalam kamar petak
berukuran sempit itu.
Pa’i dan Mu’i bertemankan dua cangkir susu panas dengan asap yang mengepul
indah pada bibir cangkir, sebungkus
biskuit yang mereka dapatkan dari perawat panti yang ramah nan jelita. Pa’i dan Mu’i
berinisiatif untuk tidak tidur terlalu cepat malam itu, sebab malam itu adalah
malam yang berarti untuk Mu’i yang genap berusia 86 tahun. Pa’i berperan
sebagai sahabat
Mu’i selama dipanti jompo merasa bertanggung jawab untuk menghadiahkan sesuatu
untuk Mu’i, namun ia sadar tiada hal yang bisa ia berikan secara khusus untuk
Mu’i selain doa dan dukungan serta
olok-olokan. Malam itu, dua orang jompo itu saling
pamer kisah ketika masih berusia muda.
“Dahulu, akulah
lelaki paling ganteng di RW 04. Tak salah jika sampai aku menua pun sisa
kegantenganku masih melekat erat”
Pa’i
mulai mengenang dengan sembari menunjukkan
senyum sumringah
“Hanya genteng
saja kau Pa’i? Lihat aku, juragan kelapa. Ayah ku seorang tuan tanah, Kakekku
seorang penambang emas. Tak jarang wanita-wanita memperebutkan aku bahkan dari desas-desus yang lwat ditelinga ku ada
beberapa dari mereka yang berniat mengamalkan ilmu santet agar bisa memiliki ku
”
cetus Mu’i tak mau kalah
“Yaa kau cukup kaya dizamanmu, pantaslah kau mendapat Mira, wanita cantik
bermata biru berhati emas, bertutur
lembut, anggun, dan menawan yang serta merta mampu menggoyahkan
ima” Pa’i tertawa dan berhenti sejenak lalu melanjutkan pembicaraan dengan
mengerutkan kening “Tapi Mu’i ada sebuah pertanyaan
yang menari-nari didalam kepala ku”
“Apa dia? Jika
pertanyaan itu mudah dan aku masih dapat mengingatnya dengan jelas akan ku
jawab agar aku pun bisa memuaskan hati mu itu” Mu’i tampak penasaran
“Ah, hal ini
tentu saja kau ingat, bahkan kau ingat sangat jelas. Mengapa Mira pergi meninggalkanmu saat jurangan
sawit lebih populer dibanding jurangan kelapa “
Mu’i terhenyak, pertanyaan yang ia dengar sontak
merasuki amarah dalam kepalanya, perasaanya terasa tersinggung, dan harga
dirinya terluka. NAmun demi menjujung rasa arif dan sebagai pecinta sikap
tenang, Mu’i menetralisir pertanyaan Pa’i dengan sedikit mengelak “Bedebah,
kau dengan sengaja mengolok-olok ku? Sudah tua masih saja mencari dosa”
“Tak usahlah kau
bawa-bawa tua dan dosa, sepersejuta kalipun kau bercermin kita ini sama Mu’i.
Sama-sama tua dan penuh dosa. Dan biarpun aku dulu tidak pernah merasakan hidup
kaya sepertimu aku bahagia dengan Ina yang dengan tulus, rendah hati, setia,
taat dan patuh pada ku. Ina istriku
yang berbadan tambun dan tidak cantik mampu melahirkan
anak-anak yang cantik, pintar, dan terhormat. Ah betapa bahagianya aku Mu’i” Pa’i semakin tak mau kalah
“Aku
pun turut bahagia kawan, bisakah aku ceritakan tentang anak-anakmu yang baik
budi itu?” Tanya Mu’i
“Tentu kawan,
tentu. Tapi aku merasa”
“Apa? Katakan
saja kawan?”
“Aku merasa tak
enak hati jika berbicara tentang anak padamu. Kau kan sedari dulu
menginginkannya namun tuhan tidak mempercayaimu” Pa’i tersenyum sinis
seolah-olah pernyataannya sengaja menyindir Mu’i
“Pa’i kawanku,
di usia senja ku ini tiada lagi hal yang ku sesali, aku hanya berusaha
menikmati hidup dan perlahan-lahan mulai mendekatkan diri pada-Nya. jadi tak
perlu kau susah memikirkan perasaan ku”
ungkap Mu’i berkaca-kaca
“Baiklah. Kau
pernah melihat pengacara hebat bernama Eka di televisi ? Itu anak pertamaku.
Kau pernah meilhat berita yang reporter bernama Dwi ? Itu anak kedua ku. Kau
tahu penyanyi pop yang sedang naik daun sekarang, namanya Tri. Itu anak ketiga ku. Ah luar biasa bukan?”
Pa’i pamer dengan bangganya
“Aku takjub luar
biasa kawan. Tak kusangka model potongan lelaki macam dirimu bisa mendidik anak
hingga sukses begitu. Tapi, mengapa mereka tak pernah sekali pun datang
mengujungimu kesini ?” Mu’i bertanya
tanpa beban
Suasana
senyap, hujan yang sudah sedari tadi berhenti kini turun lagi. Dalam semenit
suasana berubah. Angin malam berhembus kencang diluaran sana, jam dinding sudah
menunjukkan pukul 00.55. Suasana kantuk mulai menyerang kedua jompo yang sedari
tadi masih termanggu, lewat dua menit dari pertanyaan Mu’i, tiba-tiba Pa’i
bersuara dengan nada bergetar
“Mungkin
saja mereka malu, bahwa mereka adalah anak dari seorang lelaki tua yang sudah
cacat kakinya”
Pa’i beranjak meninggal
Mu’i, Pa’i berjalan perlahan menuju pembaringannya, merebahkan badan, menutup
mata, dan membatin “Dimana anak-anakku kini”....
Subulussalam, 05 Agustus 2017
Komentar
Posting Komentar